Sejarah dan filosofi bela diri Jepang jujitsu merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam memahami kekuatan dan keunikan dari seni bela diri yang berasal dari Negeri Sakura ini. Sejarah jujitsu sendiri telah menjadi bagian dari warisan budaya Jepang yang telah berkembang sejak abad ke-17.
Menurut ahli sejarah bela diri Jepang, jujitsu awalnya dikembangkan oleh samurai sebagai teknik pertahanan diri dalam pertempuran tanpa senjata. Konsep dasar dari jujitsu adalah memanfaatkan kekuatan lawan untuk mengalahkannya, bukan hanya bergantung pada kekuatan fisik sendiri. Hal ini sesuai dengan filosofi samurai yang mengedepankan kecerdasan dan keterampilan dalam bertempur.
Dalam buku “Jujitsu: The Art of Self-Defense”, penulis H. Irving Hancock menjelaskan bahwa jujitsu memiliki prinsip dasar yang mengajarkan keseimbangan, fleksibilitas, dan pengendalian diri. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, praktisi jujitsu dapat menghadapi berbagai situasi pertempuran dengan tenang dan efektif.
Filosofi bela diri Jepang jujitsu juga dipengaruhi oleh ajaran dari tokoh-tokoh penting dalam sejarah bela diri Jepang, seperti Jigoro Kano, pendiri Judo. Kano menyatakan, “Tujuan sejati dari seni bela diri bukanlah untuk mengalahkan lawan, melainkan untuk memperbaiki diri sendiri dan mencapai kedamaian batin.”
Dengan memahami sejarah dan filosofi bela diri Jepang jujitsu, kita dapat menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jujitsu bukan hanya sekadar teknik bertarung, melainkan juga sebuah cara untuk mengembangkan karakter dan keterampilan diri. Sebagai kata bijak mengatakan, “Bukan kekuatan fisik yang membuat seseorang kuat, melainkan kekuatan pikiran dan hati yang teguh.”